Wajah Birokrasi dalam Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup

Tema: Reformasi Birokrasi untuk Lingkungan Hidup
Oleh : Gani Gaos Saputra (Pemerhati Lingkungan)
Tanggal : Kamis, 08 April 2010

http://www.mediaindonesia.com/webtorial/klh/index.php?ar_id=Njk0Nw==

DISADARI atau tidak, Indonesia saat ini tengah dihadapkan pada tragedi lingkungan yang sangat mengerikan. Berbagai bencana ekologis datang silih berganti. Saat kemarau, bencana kekeringan dan kebakaran hutan terjadi dimana-mana. Sebaliknya, ketika musim hujan giliran bencana banjir dan tanah longsor datang menggantikannya.

Bencana ekologis nampaknya juga tidak mengenal tempat. Di kota-kota besar, meningkatnya polutan dari asap kendaraan bermotor maupun industri makin menjadi ancaman serius bagi kesehatan warga kota. Sementara, di daerah perdesaan bencana ekologis muncul, antara lain, dalam bentuk semakin meluasnya lahan kritis akibat penggundulan hutan. Di daerah pantai, kerusakan lingkungan pun tidak kurang parahnya. Rusaknya terumbu karang dan hutan bakau serta pencemaran pantai adalah beberapa contohnya.

Jika diinventarisasi lebih lanjut, daftar kerusakan lingkungan hidup pasti menjadi semakin panjang. Jika hal ini terus berlangsung, maka julukan Indonesia sebagai “Negeri Seribu Bencana” benar-benar akan menjadi kenyataan. Kerusakan lingkungan yang terjadi begitu masif ini bagaimana pun tidak lepas dari perilaku kita yang semena-mena terhadap lingkungan. Bukankah dalam Al Qur’an disebutkan pula bahwa terjadinya kerusakan di darat dan lautan tidak lepas dari ulah manusia yang memperlakukan lingkungan dengan sewenang-wenang.

Kesewenang-wenangan terhadap lingkungan seringkali bersumber dari perilaku egois kita yang menganggap bahwa sungai, hutan, udara, laut dan berbagai sumberdaya umum lainnya adalah sumberdaya bebas yang dapat diperlakukan semau-mau kita. Air sungai, misalnya, dianggap sebagai sumberdaya gratis untuk membuang sampah dan limbah. Kita juga merasa tidak bersalah ketika membuang berbagai polutan ke udara baik melalui asap rokok, kendaraan bermotor maupun pabrik-pabrik.

Negeri ini sebenarnya bukannya tidak memiliki perangkat hukum untuk mengatur dan mengawasi perilaku warganya terhadap lingkungan hidup. Sebaliknya, perangkat hukum tentang hal ini relatif sudah sangat lengkap mulai dari undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri sampai peraturan daerah. Namun, kenapa berbagai perangkat hukum berikut sanksi pidananya seolah tidak bergigi? Penyebab utamanya adalah karena kuatnya egoisme kita untuk mengeksploitasi sumberdaya lingkungan yang dianggap bebas meskipun bersifat anti lingkungan dan melanggar hukum.

Kenyataan di atas menunjukkan bahwa pendekatan Atur dan Awasi (ADA) atau Control and Command (CAC) sebagai paradigma pengelolaan lingkungan hidup yang dianut selama ini tidak cukup efektif untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan. Paradigma ini berangkat dari asumsi bahwa perilaku manusia yang anti lingkungan dapat dilawan dengan membuat peraturan perundang-undangan lengkap dengan sanksi pidananya. Namun, karena kuatnya faktor egoisme tadi, orang selalu berusaha menghindari tindakan hukum yang merugikan dirinya sendiri. Cara termudah adalah dengan diam-diam melanggarnya dengan harapan tidak diketahui pihak yang berwenang. Kondisi ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara maju.

Perlunya alternatif pendekatan baru
Sehubungan dengan itu, kita nampaknya perlu mengevaluasi kembali efektivitas dari pendekatan Atur dan Awasi itu. Bukannya pendekatan tersebut tidak diperlukan, tapi itu saja belum cukup. Karena itu, diperlukan alternatif pendekatan yang dapat mengakomodir sifat egoistik manusia tadi sehingga benturan kepentingan antara pengelolaan lingkungan dan tabiat egoistiknya dapat diminimalisir. Bahkan perlu diupayakan agar egoisme negatif yang anti lingkungan dan anti sosial tadi dapat berubah menjadi egoisme positif yang pro lingkungan dan pro sosial. Artinya, paradigma baru pengelolaan lingkungan hidup ini harus bersifat memberi insentif untuk mendorong perilaku pro lingkungan serta disintensif bagi perilaku yang anti lingkungan.

Untuk keperluan tersebut, instrumen insentif-disintensif (IID) jelas harus disusun. Namun, penyusunannya tidak diserahkan kepada pemerintah semata-mata. Bahkan, penyusunan instrumen IID ini akan lebih baik jika dapat dilakukan oleh masyarakat sendiri sehingga hasilnya dapat diinternalisasikan sebagai nilai sosial masyarakat dan dapat menjadi sarana kontrol sosial yang efektif. Dengan demikian, beban pengawasan oleh pemerintah pun berkurang. Sebaliknya, masyarakat lah yang berperan mengatur sikap dan perilakunya sendiri. Meminjam istilah Bapak Prof. Otto Soemarwoto (alm), pendekatan alternatif dalam pengelolaan lingkungan hidup ini lebih tepat disebut pendekatan Atur Diri Sendiri (ADS).

Melihat kecenderungan saat ini, pendekatan ADS diyakini akan terus berkembang di masa-masa mendatang. Saat ini, pendekatan ADS terutama berkembang di dunia bisnis sebagai tuntutan yang tidak bisa ditawar-tawar. Tumbuhnya gerakan konsumen hijau atau gerakan konsumen peduli lingkungan merupakan salah satu kekuatan utama yang mendorong dunia bisnis untuk lebih bersikap ramah lingkungan. Di sisi lain, kalangan bisnis merasakan bahwa pendekatan lama (Atur dan Awasi/ADA) tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka untuk mempertahankan eksistensi bisnisnya. Karena itu, mereka pun memelopori pendekatan baru dalam pengelolaan, yaitu dengan menuntut kebebasan bagi mereka untuk mengatur dirinya sendiri. Pendekatan ini didukung oleh tiga instrumen utama, yaitu: pembukuan lingkungan, eko-efisiensi dan eko-industri.

Implikasinya bagi birokrasi
Perbedaan mendasar antara pendekatan ADA dan ADS adalah terletak pada rigiditas-nya. Dalam paradigma ADA, peraturan sering dibuat rinci lengkap dengan petunjuk teknis (Juknis) atau petunjuk pelaksanaannya (JUKLAK). Sebaliknya, paradigma ADS menghendaki adannya kelenturan (fleksibilitas) sehingga pemerintah tidak perlu membuat peraturan yang begitu rinci tapi cukup hanya garis besarnya saja. Kelenturan ini pada gilirannya memberi keleluasaan dan kreativitas bagi masyarakat atau dunia bisnis untuk merumuskan sendiri tentang bagaimana cara terbaik untuk mengatur dirinya sendiri dalam mengelola lingkungan hidup.

Dalam konteks reformasi birokrasi, pendekatan ADS pada dasarnya merupakan bagian dari proses demokratisasi dan debirokratisasi di bidang pengelolaan lingkungan hidup. Namun, pendekatan ADS itu sendiri dapat berkembang jika pemerintah memiliki kemauan politik untuk menggariskan kebijakannya tentang hal ini. Ke depan, misalnya, peran pemerintah dan lembaga legislatif lebih difokuskan pada upaya membuat peraturan perundang-undangan yang lentur yang mengandung instrumen insentif dan disintensif. Selanjutnya, pemerintah perlu mendorong masyarakat untuk mengambil inisiatif dalam merumuskan instrumen insentif dan disintensif yang sesuai dengan kondisi fisik dan sosial budaya dimana mereka berada.

Bagi kalangan birokrat, proses debirokratisasi ini jelas tidak mudah karena mereka harus melepaskan peranannya yang dominan seperti selama ini. Namun, debirokratisasi ini sebenarnya bukan berarti menghapus peran birokrasi sama sekali, melainkan bagaimana menghilangkan kekakuan yang didominasi oleh pendapat dan interpretasi para birokrat. Di sinilah pentingnya faktor kelenturan tadi. Dalam pemilihan teknologi penanganan limbah, misalnya, adanya peraturan yang mengharuskan penggunaan teknologi tertentu harus ditinggalkan. Sebaliknya, masyarakat perlu diberi kesempatan untuk mencari teknologi yang paling efektif sesuai dengan kondisinya masing-masing.

Demikian pula dalam kasus AMDAL, dimana birokrasi yang panjang dan keharusan membuat berbagai laporan dalam jumlah banyak demi memenuhi kelengkapan administrasi secara bertahap harus dikurangi. Hal ini karena tujuan AMDAL sebenarnya adalah merumuskan cara berpikir yang melandasi perilaku ramah lingkungan bukannya sebagai formalitas yang harus dipenuhi oleh mereka yang berkepentingan dengan AMDAL tersebut. (*)

Tinggalkan komentar